Kehidupan Beragama Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak para ‘ahli dan pemuka agama’ telah berusaha dengan segala cara demi terciptanya hubungan yang mesra dan harmonis diantara umat beragama, melalui tulisan-tulisan baik buku, majalah, jurnal bahkan melalui seminar dan mimbar-mimbar ‘khutbah’ mereka senantiasa menyarankan akan arti pentingnya kerjasama dan dialog antar umat beragama meskipun nampaknya saran-saran mereka belum memiliki ‘efek’ yang begitu menggembirakan.
Seringnya konflik dan pertikaian yang menggunakan ‘baju agama’, merebaknya aksi-aksi teroris, pembakaran dan pengrusakan sarana dan tempat-tempat ibadah di negara kita, masih saling curiga mencurigai antara umat Islam dan Kristen serta kepada agama-agama lainya, cukup membuktikan kegagalan para penganjur ‘perdamaian’ tersebut. Meskipun begitu, ‘doktrin’ perdamaian dan persahabatan ini harus senantiasa kita teruskan, kemudian kita coba kembangkan dan dakwahkan, melalui strategi-strategi baru yang lebih efektif dan relevan, kepada saudara-saudara kita, teman-teman dan peserta didik kita kapan pun dan dimana pun kita berada.
Kekerasan dapat mengandung warna religius, entah dalam bentuknya, entah sebagai tujuan, entah sebagai simbol dramatis, kekerasan dapat dilakukan dengan penuh hormat, seakan akan sang provokator menjumpai "sang maha pesona". Konflik profan terbatas dapat bereskalasi menjadi kekerasan, bila isue-isue yang dipertaruhkan diwarnai dengan aspek religie, hal ini tampak tersirat dalam berbagai kekerasan akhir-akhir ini.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyatukan sesama umat beragama dan mengikat persahabatan antar umat beragama dan memahami arti toleransi antar umat beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Toleransi Kehidupan Beragama Di Indonesia
Toleransi kehidupan beragama dan hidup berdampingan secara damai di Indonesia dapat dijadikan model kehidupan beragama bagi kawasan lain. Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Indonesia juga berperan sebagai model yang mewakili tradisi Islam moderat yang dapat hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain.
B. Memaknai Kebebasan
Kebebasan menjadi slogan yang selalu bergemuruh di pelbagai tempat. gemuruh kebebasan berjalan seiring bersama gegap gempita reformasi di negeri ini, dengan bertameng demokrasi, dan berkedok Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan menjadi adagium yang selalu nyaring disuarakan oleh pelbagai kelompok dan komunitas .
Genderang kebebasan seolah menjadi intisari dari demokrasi yang cenderung, menjadi bebas tanpa nilai dan batas. Jika merujuk kepada pengertian sederhananya, dalam bahasa Indonesia, kebebasan yang berakar kata dari bebas memiliki beberapa pengertian, yaitu,
1) Lepas sama sekali.
2) Lepas dari tuntutan, kewajiban dan perasaan takut.
3) Tidak dikenakan hukuman dsb.
4) Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan.
5) Merdeka.
Pengertian kata bebas secara lughah ini tentu tidak memadai dan memungkinkan dijadikan pijakan hukum secara personal dalam realitas sosial. Karena, jika itu terjadi, maka akan melahirkan ketidakbebasan bagi pihak lain. Ini berarti, tidak ada seorang-pun bebas sepenuhnya, karena kebebasan itu dibatasi oleh hak-hak orang lain.
Dengan demikian, pengertian kebebasan secara akademik terikat oleh aturan-aturan, baik agama, maupun budaya. Keterikatan makna bebas dengan konsepsi keagamaan dan budaya inilah membuat pengertiannya menjadi bias dan subyektif. Karena setiap agama dan budaya memiliki aturan dan norma yang mungkin berbeda sesuai titah yang direduksi dari ajaran kitab suci setiap agama dan konsepsi budaya itu.
C. Problematika Di Indonesia
Adanya indonesia, membuat umat Islam menjadi mayoritas, dan karena adanya umat Islam, terwujudnya Indonesia yang merdeka. Ungkapan ini setidaknya menggambarkan bahwa antara Islam sebagai agama dan indonesia sebagai negara tidak terpisahkan, baik dalam bingkai historis maupun ideologis. Secara historis, keberadaan Islam sebagai sebuah agama yang diyakini oleh mayoritas rakyat Indonesia, telah bersemayam dalam keyakinan, bahkan sebelum lahirnya indonesia.
Secara ideologis, norma ajaran Islam telah mempengaruhi dan bahkan menjadi acuan dalam format identitas bangsa Indonesia. Meskipun, kenyataannya sekarang, Indonesia tidak memiliki “kelamin” yang jelas dalam memposisikan dirinya terhadap agama. Sebagai bangsa, Indonesia memiliki rakyat yang mayoritas beragama Islam dan syariat Islam menjadi living law di tengah masyarakat, namun sebagai negara, Indonesia bukan, atau masih ‘malu-malu’ untuk disebut negara agama.
Ketidak jelasan status inilah yang menjadi perdebatan panjang dan sampai hari ini belum usai, apakah indonesia negara sekuler, yang memisahkan diri dari agama, atau negara agama, dalam arti menjadikan agama sebagai pijakan hukum negara.
Perdebatan agama negara dan negara agama atau hubungan agama dengan negara dalam konteks keindonesiaan sudah berlansung semenjak kelahiran indonesia sebagai negara bangsa. Perdebatan status negara di mata agama di indonesia bukan semata persoalan kepentingan politik umat mayoritas yang kebetulan beragama Islam. Akan tetapi, secara substantif, dogma Islam tidak dapat dipisahkan dengan negara.
Mengingat risalah Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW merupakan agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang (qawanin) yang bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Dalam hukum Islam, orientasi hukum tidak lepas dari dua hal :
Pertama. Hukum yang berpijak pada landasan lahiriah (mustamid ‘ala al-zahir), yaitu hukum mengatur hubungan manusia dengan sesama makhluk.
Kedua. Hukum yang berlandaskan bathin, yaitu hukum merujuk kepada hubungan manusia dengan Tuhan. Dari itu, dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara agama dan negara, keduannya bagai sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam pemahaman Islam, adanya negara bukan saja atas dasar kesepakatan masyarakat (kontrak sosial) namun juga atas dasar fungsi manusia sebagai hamba Tuhan yang bergelar khalifah yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya. Dengan demikian, manusia harus melakukan amar makruf nahi munkar sebagai aplikasi dari perintah Tuhan dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dunia akhirat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terciptanya hubungan yang mesra dan harmonis diantara umat beragama, melalui tulisan-tulisan baik buku, majalah, jurnal bahkan melalui seminar dan mimbar-mimbar yang senantiasa menyarankan akan arti pentingnya kerjasama dan dialog antar umat beragama.
2. Dalam konteks keindonesiaan, bincang kebebasan beragama sebenarnya juga bisa dianggap selesai, karena secara kasat mata, agama Islam yang diyakini oleh mayoritas rakyat indonesia, tidak berbeda “asumsi”nya dengan Islam dimanapun di dunia.
B. Saran
1. Agar terciptanya hubungan yang harmonis antar umat beragama harus banyak berdialog.
2. Toleransi kehidupan beragama dan hidup berdampingan secara damai di indonesia harus dijadikan model kehidupan beragama bagi kawasan lain.


DAFTAR PUSTAKA
Syamsul Ma’arif, M. Ag. (islam dan pendidikan pluralisme) ,Semarang.
Abdullah, Fatimah. “Konsep Islam Sebagai Din, Kajian Terhadap Pemikiran al-Attas”, Islamia, September-November 2004.
al-Anshary, Abd Hamid Ismail. Nizam al-Hukm fi al-Islam, Qatar, Dar Qutry bin al-Faja,ah, 1985.
al-Daqs, Kamil Salamah. Ayat al-Jihad fi al-Qur’an al-Karim. Kuwait, Dar al-Bayan, 1972.
al-Ghazali, Muhammad. al-Ta’assub wa al-Tasamuh Baina al-Masihiyah wa al-Islam. Kuwait, Dar al-Bayan, tt.
al-Ghazali, Muhammad. Fiqh al-Sirah. Alexandrea, Dar al-Dakwah, 2000.
al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. Kitab al-Ta’rifat. tt, Dar al-Diyah li al-Turats, tt.
0 Responses